Entri yang Diunggulkan

Dugderan: Mengakrabi Tradisi, Merayakan Identitas Kota

Dugderan: Mengakrabi Tradisi, Merayakan Identitas Kota

Barongsai Tay Kak Sie tampil saat pertunjukan di Balaikota Semarang, Jumat, 28 februari 2025 (dok. Abdullah Azzam/direktorijateng.id)

DIREKTORIJATENG.ID - Pukul sepuluh pagi, kami melangkah menuju Balai Kota Semarang. Hari itu, langit tampak biasa saja. Namun, bagi kami yang hendak menyaksikan Kirab Budaya Dugderan untuk pertama kalinya, hari itu terasa istimewa. Dugderan bukan sekadar seremoni, melainkan perjumpaan antara masa lalu dan masa kini dalam bentuk yang meriah, tapi menghangatkan.

Kami tiba menjelang tengah hari. Acara belum juga dimulai. Ada penundaan karena tamu-tamu undangan belum hadir, termasuk wali kota dan wakilnya. Kami menunggu lebih dari satu jam. Namun, penantian itu bukan sia-sia. Hal tersebut justru memberi ruang bagi kami untuk mengamati suasana: anak-anak kecil yang riang, pedagang kaki lima yang setia menjajakan dagangan, dan para relawan budaya yang bersiap dengan kostum tradisional mereka. Tradisi ini milik banyak orang, bukan hanya milik pemerintah atau komunitas tertentu.

Dugderan adalah tradisi tua. Ia pertama kali digagas oleh Bupati Semarang, Raden Mas Tumenggung Purbaningrat, sekitar pertengahan abad ke-19. Kata “Dugder” berasal dari dua bunyi: dug, suara beduk yang ditabuh, dan der, suara meriam yang diledakkan. Keduanya menjadi penanda datangnya bulan suci Ramadan. Di masa lalu, ketika belum ada pengeras suara dan media digital, Dugderan adalah cara pemerintah mengumumkan awal puasa kepada masyarakat.

Seiring berjalannya waktu, Dugderan tumbuh menjadi lebih dari sekadar pengumuman. Ia menjelma menjadi pesta rakyat. Dan seperti pesta pada umumnya, Dugderan penuh warna barongsai Tay Kak Sie melompat lincah di tengah keramaian, iringan pasukan bregada berbaris gagah, tarian dan musik bersahutan di sepanjang jalan. Di antara semua itu, kami merasa kecil bukan karena tidak penting, tapi karena sedang berada di tengah arus tradisi yang lebih besar dari diri kami sendiri. (kacau)

Setelah pertunjukan di Balai Kota, rombongan melanjutkan perjalanan menuju Masjid Agung Kauman. Di sanalah sejarah Dugderan kembali dihidupkan lewat penjelasan singkat mengenai akar budaya ini. Kemudian kami bergerak ke Masjid Agung Jawa Tengah, tempat pemukulan beduk dilangsungkan. Masyarakat berkerumun. Beduk ditabuh dengan keras, menandai babak baru yang akan segera dimulai: Ramadan.

Kami pulang hari itu dengan rasa puas dan penuh tanya. Mengapa tradisi seperti Dugderan tetap bertahan? Barangkali karena manusia butuh ritus bersama momen yang membuat kita merasa jadi bagian dari sesuatu. Dugderan adalah ingatan kolektif yang terus diperbarui tiap tahun, lewat langkah kaki, pukulan beduk, dan suara tawa yang tak pernah absen dari jalanan kota.


Reporter: Hanin Rohimah

Editor: Abdullah Azzam



Saya merupakan seorang mahasiswa S1 Komunikasi dan Penyiaran Islam di UIN Walisongo Semarang

Belum ada Komentar untuk " Dugderan: Mengakrabi Tradisi, Merayakan Identitas Kota"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel