Tips dan Trik Buat Jurnalis dalam Meliput Kasus Kekerasan Seksual
| Jurnalis Kompas.id Kristi Dwi Utami saat menyampaikan pedoman peliputan kekerasan seksual dalam Seminar Jurnalistik yang diselengarakan LPM MISSI di Laboratorium Dakwah UIN Walisongo Semarang, Kamis (30/10/2025). |
Seminar jurnalistik yang diselenggarakan oleh Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Missi ini membahas pedoman peliputan kekerasan seksual, di aula Laboratorium Dakwah UIN Walisongo Semarang, Kamis (30/10/2025).
Kristi, panggilan akrabnya mengungkapkan bahwa dengan adanya peliputan terhadap kasus kekerasan seksual, para jurnalis bisa membantu mengurangi adanya kasus-kasus yang terjadi ke depannya, membantu korban mendapatkan keadilan, sekaligus membantu korban-korban lain untuk berani speak up.
Meskipun begitu, pendekatan yang dilakukan terhadap kekerasan seksual (KS) berbeda. Pendekatan yang dilakukan adalah wawancara berbasis trauma. Maka, fokus utamanya adalah keselamatan dan kepercayaan korban.
“Saat wawancara pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan wawancara berbasis trauma, antara lain: safety, choice, control, dan empowerent,” jelas perempuan lulusan UPN Veteran Yogyakarta ini.
Ada empat prinsip dasar yang harus diketahui seorang jurnalis dalam melakukan peliputan kekerasan seksual. Mulai dari memperhatikan safety korban, baik keselamatan fisik ataupun psikis. Lalu ada choice dan control, yaitu bagaimana korban ingin ceritanya disampaikan. Karena, terkadang ada beberrapa bagian yang mungkin tidak ingin diceritakaan oleh korban. Yang terakhir empowerment, jurnalis harus memberikan ruang kepada korban.
Kristi mempresentasikan bagaimana praktik baik yang dilakukan Jurnalis dalam peliputan kekerasan seksual. Dimulai dari riset kepada keluarga, teman, ataupun orang-orang terdekat korban. Dengan begitu jurnalis sudah mempunyai gambaran terhadap peristiwa yang terjadi, sehingga korban tidak perlu mengulangi traumanya dan bisa membahas apa yang diinginkan ke depannya.
Tempat perlu diperhatikan. Harus aman dan privat. Selain itu, Kristi menekankan menghindari kalimar-kalimat yang terasa menghakimi. Seperti, kalimat "Kenapa tidak melawan? Kenapa keluar malam?" Dan berbagai macam pertanyaan atau ungkapan yang terkesan judge lainnya.
Di praktik yang terakhir, Kristi mengarahkan supaya jurnalis melakukan verifikasi tanpa membuat korban terbebani. Jangan sampai memaksa korban untuk mengingat kembali detail-detail yang membuatnya trauma.
Setelah menjelaskan praktik baiknya, Kristi mengajarkan juga kepada peserta seminar tentang etika jurnalistik dalam isu kekerasan seksual. Mulai dari melindungi privasi dan kerahasiaan data korban sesuai dengan UU Pers yang telah ada. Jurnalis harus menghindari narasi yang menyalahkan korban. Menghindari memaksa menceritakan detail, dan memverifikasi tanpa membuat korban terbebani.
“Contohnya, karena pakaian minim, atau sebagainya. Fokuslah menulis pada angle penuntutan terhadap tanggung jawab pelaku. Jangan terlalu banyak mengeksploitasi korban,” jelas Kristi.
Kristi juga menekankan untuk melatih sensitivitas dan empati sebagai jurnalis. Ia mencontohkan dengan melakukan reflektif terhadap diri sendiri. Sekiranya kejadian tersebut menimpa diri sendiri, bagaimana kita ingin kelanjutan dan tanggapan yang didapatkan.
Dari segi kepenulisan, bahasa yang digunakan sepatutnya memulihkan, mendukung korban untuk mendapatkan keadilan. Sayangnya, beberapa media terkadang malah fokus terhadap bahasa yang sensional.
Kristi menyarankan kalau dalam peliputan kasus pelecehan seksual, jurnalis bisa berjenjang dengan psikolog dan lembaga-lembaga yang mendampingi korban, seperti Satgas PP, LPSK, dan lain-lain.
Kristi lalu berbagi pengalamannya dalam meliput kasus kekerasan seksual yang terjadi di Pemalang. Melalui ceritanya, Kristi menunjukkan kepada para peserta seminar tentang masih banyak orang yang mengabaikan potensi kekerasan seksual. Pelaku bisa jadi saudara dekat korban sendiri. Bagaimana lembaga-lembaga perlu didesak terus menerus untuk mengusut terus sampai sang pelaku ditindak hukum.
Setelah bercerita, Kristi mengatakan apa saja peran peliputan kekerasan seksual. Mulai dari memberikan ruang aman bagi korban untuk bersuara tanpa takut stigma, mendorong terus aparat dan lembaga-lembaga terkait, mengingatkan kepada khalayak bahwa kasus kekerasan seksual bukanlah isu privat, melainkan isu sosial. Jurnalis juga harus membentuk opini yang berpihak pada korban dan terus mengawal keberlanjutan kasus sampai persidangan, tidak hanya memberitakannya saat viral saja.
“Harus dikawal terus sampai ke persidangan, sampai mendapatkan hukuman yang sesuai. Soalnya, kalau tidak dikawal, tuntutannya kadang tidak sesuai dan mengecil. Akhirnya pelaku tidak jera dan nanti malah orang-orang merasa kalau kekerasan seksual hukumannya ringan. Jangan sampai!” ucap Kristi.
Kristi juga berpesan bahwa jurnalis yang meliput KS bisa memiliki potensi trauma sekunder. Hal ini karena jurnalis menjadi sangat dekat dengan korban dan mendalami kasusnya. Oleh karena itu, jurnalis harus berjarak dengan kasus dan melakukan self care.(*)
Penulis: Muhammad Hasan
Editor: Farida
Belum ada Komentar untuk "Tips dan Trik Buat Jurnalis dalam Meliput Kasus Kekerasan Seksual"
Posting Komentar