Essay Dava: Mendefinisikan Monster dan Manusia, Sebuah Filosofi The Witcher

The Witcher 3: Wild Hunt


DIREKTORIJATENG.ID - Video games saat ini tidak hanya menjadi wadah kreativitas dan realisasi imajinasi pencipta, melainkan wujud pesan dan pandangan yang dimiliki oleh developer begitu pula dengan game populer The Witcher 3: Wild Hunt yang dirilis pada 18 Mei 2015 silam dan bisa dilihat dampaknya dalam dunia game saat ini.

The Witcher 3: Wild Hunt dianggap sebagai perombak standar kualitas game pada genre RPG open world dengan penggabungan antara cerita yang kompleks dengan opsi pilihan yang punya konsekuensi pada jalanya cerita, serta dunia yang immersive, organik, dan grounded. Dibuat berdasarkan novel dengan nama yang sama karya Andrzej Sapkowski, CD Project Red berhasil membuat game yang dianggap terbaik dari genrenya bahkan masih relevan setelah 10 tahun rilis.

Dunia the Witcher

Dunia the Witcher bukan hanya berbahaya karena banyaknya monster tapi juga kompleks karena intrik politik dan rasisme terhadap non-human. Tema besar yang diangkat adalah moralitas yang abu-abu, opsi yang baik belum tentu berakhir buruk dan opsi jahat belum tentu berakhir baik, juga konflik politik yang menyebabkan kemiskinan, ketimpangan, dan penindasan. Definisi baik dan jahat sudah menjadi kabur dalam dunia the Witcher. Apakah orang yang berhati lembut itu tentu baik dan yang berhati keras tentu jahat?

Dalam dunia the Witcher manusia, non-human, dan monster adalah hal yang berbeda tapi sama, sebagian dari ras tersebut beradab dan sebagiannya tidak. Mereka sebenarnya berasal dari realitas yang berbeda yang menyatu akibat ‘conjunction of the spheres’, yaitu sebuah bencana kosmik di mana beberapa realitas saling bertabrakan dan menjadi satu. Latar tempat utama adalah 'The Continent’, sebuah daratan besar tempat berbagai ras mendarat setelah conjunction. Ras paling awal mendarat di sebut Elder Races yang terdiri dari ras Gnomes, ras Dwarf, dan ras Elf, disusul oleh manusia purba, monster dan manusia modern.

1000 tahun semenjak conjunction muncul kelompok manusia modern yang nantinya disebut Nordlings atau bangsa utara. Berbeda dengan Elder Races yang mayoritas hidup damai, manusia modern melakukan ekspansi secara masif dan mendorong Elder Races dari utara, kemudian mendirikan empat kerajaan utama di Northern Realm, yaitu Temeria, Redania, Kaedwen, dan Aedirn. Setelahnya muncul Nilfgaard dari selatan dan perang antara Nilfgaard dan Northern Kingdom.

Ambiguitas Antara Baik dan Buruk

"He who fights with monsters should be careful lest he thereby become a monster. And if thou gaze long into an abyss, the abyss will also gaze into thee."

Friedrich Nietzsche dalam bukunya “Beyond Good and Evil” menolak pandangan moralitas tradisional yang dia anggap terlalu dangkal dalam memahami ‘apa itu baik dan buruk’.

Dalam dunia The Witcher, definisi akan baik dan buruk sudah tidak jelas. Para Elder Races apakah bisa dianggap baik karena membiarkan ras manusia berkembang biak yang akhirnya malah menjadi bencana bagi Elder Races sendiri, dan apakah manusia bisa dicap buruk meski hidup di bawah bayang-bayang monster dan peperangan serta kelompok biasa diburu oleh Scoia’tael, yaitu kelompok gerilya sisa-sisa Elder Races yang tidak bergabung ke kerajaan manusia. Para Witcher di sisi lain adalah kelompok yang mampu melihat dua sisi antara manusia dan monster.

Dunia The Witcher menunjukkan ambiguitas ini secara harfiah. Kontrak ‘perburuan’ yang diberikan kepada Geralt selalu dibungkus label ‘monster’, namun sering kali di akhir ketika pedangnya terhunus ke ‘buruannya’ dia menemukan bahwa yang dia buru bukan semata-mata monster tanpa akal, hanya sosok yang mencoba mempertahankan ‘kemanusiaannya’, seperti Bloody baron yang rela menjual kesetiaannya kepada Nilfgaard demi rakyat rupanya seorang pembunuh dalam keluarganya, Scoia’tael yang dianggap teroris oleh rakyat biasa hanyalah kelompok yang memperjuangkan tanah ras mereka, sampai Griffin yang memburu manusia karena tempat tinggalnya dirusak. Tidak ada fakta moral yang netral, hanya perbedaan sudut pandang dan sempitnya pemahaman. Nietzsche berkata bahwa manusia seharusnya berkembang dan meninggalkan moralitas budak yang hanya memandang baik-buruk dan mulai menciptakan keyakinan diri sendiri. Hal ini tergambar dalam sikap Geralt si tokoh utama yang tidak mendirikan kerajaan baru sebagai utopia, melainkan dengan menolak masuk ke dalam kubu mana pun, baginya setiap pilihan yang diambil akan memunculkan konsekuensi baik atau buruk dari berbagai persepsi.

Lantas siapa yang sebenarnya monster? Jawabannya secara harfiah tidak ada, karena setiap individu adalah monster bagi orang lain bahkan bagi dirinya sendiri.

Penulis: Muhammad Dava Perdana Putra

Editor:Hanifah

Belum ada Komentar untuk "Essay Dava: Mendefinisikan Monster dan Manusia, Sebuah Filosofi The Witcher "

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel